Masalah yang Muncul dan Upaya Pembenahan
Seiring waktu, jumlah angkot yang terus bertambah justru jadi masalah baru. Jalanan makin padat, kemacetan di titik-titik seperti Tugu Kujang, Pajajaran, dan Baranangsiang nggak bisa dihindari. Banyak angkot ngetem terlalu lama, saling berebut penumpang, bahkan berhenti sembarangan. Akhirnya, Pemkot Bogor mulai cari solusi biar sistem transportasi lebih tertata.
Salah satunya lewat program “Buy The Service (BTS)” dan konversi angkot ke angkot modern yang lebih nyaman dan terintegrasi. Beberapa angkot juga udah dilengkapi sistem pembayaran digital dan GPS biar bisa dipantau secara real time. Tujuannya jelas — biar transportasi di Bogor makin efisien dan nggak semrawut kayak dulu.
Angkot, Identitas yang Sulit Dilepaskan
Meskipun era transportasi makin maju, angkot hijau tetap punya tempat spesial di hati warga. Suara klaksonnya, panggilan khas sopir “Empang, Empang… satu lagi nih!”, sampai posisi duduk saling berhadapan yang bikin suasana akrab — semuanya udah jadi bagian dari identitas Bogor itu sendiri.
Banyak wisatawan yang justru penasaran pengin nyobain sensasi naik angkot di Bogor. Buat mereka, ini pengalaman unik dan autentik yang nggak bisa ditemuin di kota lain. Dari situ, kita bisa lihat kalau keberadaan angkot bukan cuma soal transportasi, tapi juga bagian dari budaya dan karakter Kota Hujan yang hidup.
Kesimpulan
Julukan Kota Seribu Angkot lahir bukan tanpa alasan. Ia jadi simbol dari dinamika kota yang padat, hidup, dan selalu bergerak. Walau perlahan berubah ke arah modern, cerita tentang angkot tetap jadi bagian penting dari sejarah Bogor. Entah nanti semuanya diganti transportasi digital atau terintegrasi penuh, satu hal yang pasti — angkot hijau akan selalu jadi ikon yang melekat di hati warga Bogor dan siapa pun yang pernah menjelajahi jalan-jalannya.